https://e-journal.unair.ac.id/JGS/issue/feedGlobal Strategis2024-10-31T10:31:43+07:00Baiq LSW Wardhanibaiq.wardhani@fisip.unair.ac.idOpen Journal Systems<p align="justify">Global Strategis is a scientific journal published twice a year. Global Strategis invite discussions, reviews, and analysis of contemporary international issues with specialization in four main themes: international peace and security; international political economy; international businesses and organization; as well as globalization and strategy. Global Strategis published by Cakra Studi Global Strategis (CSGS), center of studies that discussed contemporary issues of international relations. CSGS is managed by Department of International Relations, Universitas Airlangga</p> <p align="justify">Global Strategis has been certificated as a Scientific Journal and <span style="font-size: 10px;">accredited second grade (Sinta 2 or S2) since December 2021 by the <strong>Indonesian Ministry of Education, Culture, Research, and Technology (Kemdikbudristek)</strong>.</span><span style="font-size: 10px;"> Update Accreditation Number: 5162/E4/AK.04/2021, valid until JGS Vol. 19 No. 2, 2025.</span></p>https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/55244Evaluating The Implementation of The Maputo Protocol in The Protection of Women's Rights in Kenya 2024-04-20T16:22:18+07:00Katong Ragawi Numadikatongragawi@iikmpbali.ac.id<p><em>The Maputo Protocol is the most progressive provision specified by the African Nations regarding the importance of women's protection. The content of the protocol was agreed upon by the board of the African Union in Maputo, Mozambique, in July 2003. Entering twenty years of implementation in 2023, 44 of 55 governments of the African countries have committed to protecting women's rights based on the protocol's provisions. Kenya has only ratified the protocol since 2010, which is relatively new compared to the other African countries. This research aims to explain and evaluate the implementation of the Maputo Protocol in Kenya from its ratification in 2010 until the end of 2023. This research uses a qualitative method to gain a comprehensive understanding by analyzing any information from official documents, previous research, related journals, news reports, and other secondary sources. The results show a huge commitment from the government, agencies, institutions, and the Kenyan community to improve women's conditions by supporting the protocol's implementation. As a result, women's rights in the country have shown some progress in recent years. However, some problems related to gender inequality still exist and need to be the primary concern of the government and the people of Kenya.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong>: <em>Maputo Protocol, Women’s Rights, Kenya</em></p> <p><em> </em></p> <p><em>Protokol Maputo merupakan aturan mengenai perlindungan perempuan yang berlaku di kawasan Afrika. Pemberlakuan protokol disepakati oleh negara-negara anggota African Union di Maputo, Mozambik, pada Juli tahun 2003. Memasuki dua puluh tahun implementasi Protokol Maputo pada tahun 2023, sebanyak 44 dari 55 negara Afrika telah menyatakan komitmennya untuk melindungi hak-hak perempuan sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan protokol. Kenya merupakan salah satu negara yang baru meratifikasi Protokol Maputo pada tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi implementasi Protokol Maputo di Kenya sejak meratifikasi pada tahun 2010 sampai 2023. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dalam rangka memperoleh pemahaman komprehensif dengan menganalisis berbagai informasi terkait dari dokumen kenegaraan, penelitian sebelumnya, jurnal, berita, dan sumber-sumber sekunder lainnya. Secara umum, diketahui bahwa sejak meratifikasi Protokol Maputo, Kenya telah menunjukkan beberapa progres perlindungan hak asasi perempuan. Kendati demikian, berbagai permasalahan mengenai ketidaksetaraan gender masih terjadi dan patut mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan komunitas masyarakat di Kenya. </em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong>: <em>Protokol Maputo, Perlindungan Perempuan, Kenya</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/53521India's Policy Toward Jammu and Kashmir: Understanding the Use of Religious Ideology as a Political Legitimacy2024-08-16T20:15:35+07:00Putu Titah Kawitri Resenkawitriresen@gmail.com<p><em>This article aims to analyze the use of religious ideology as political legitimacy in the case of the abrogation of Jammu and Kashmir autonomy by the government of India. The revocation of Articles 370 and 35A of the Indian Constitution terminated the privileges the Jammu and Kashmir region enjoyed for approximately 70 years. The abrogation is viewed as an attempt by the Hindu nationalist government to achieve the Hindutva agenda, Hindu-based ideals. Thus, the research question of this study is developed as follows: How does India’s policy toward Jammu and Kashmir reflect the exercise of religious ideology as a political tool? This study uses the religious legitimacy concept as an analytical framework by exploring and interpreting a range of secondary data sources pertinent to the research question. This study concludes that the ruling party uses Hindutva as a religious ideology by operating the three aspects of religious legitimacy, namely normative, instrumental, and primordial, as justification for its policies towards Jammu and Kashmir. Thus, the Hindu nationalist government accomplished its objectives and garnered people’s support using the three facets of religious legitimacy.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: </em><em>Jammu Kashmir, Instrumentalism, Normative, Primordialism, Religious ideology </em></p> <p><em> </em></p> <p><em>Artikel ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan ideologi agama sebagai legitimasi politik dalam kasus pencabutan otonomi Jammu dan Kashmir oleh pemerintah India. Pencabutan Pasal 370 dan 35A Konstitusi India mengakhiri hak istimewa yang dinikmati wilayah Jammu dan Kashmir selama kurang lebih 70 tahun. Pencabutan tersebut dipandang sebagai upaya pemerintah nasionalis Hindu untuk mencapai agenda Hindutva, cita-cita berbasis Hindu. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian dalam studi ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana kebijakan India terhadap Jammu dan Kashmir mencerminkan penggunaan ideologi agama sebagai alat legitimasi politik? Penelitian ini menggunakan konsep legitimasi agama sebagai kerangka analisis dengan mengeksplorasi dan menafsirkan berbagai sumber data sekunder yang relevan dengan pertanyaan penelitian. Kajian ini menyimpulkan bahwa partai penguasa menggunakan Hindutva sebagai ideologi keagamaan dengan menjalankan tiga aspek legitimasi agama, yaitu normatif, instrumental, dan primordial, sebagai justifikasi atas kebijakannya terhadap Jammu dan Kashmir. Dengan demikian, pemerintah nasionalis Hindu mencapai tujuannya dan menggalang dukungan masyarakat dengan menggunakan tiga aspek legitimasi agama tersebut.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci: </em></strong><em>Jammu Kashmir, Instrumentalisme, Normatif, Primordialisme, </em><em>Ideologi keagamaan, </em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/53185China's Global Security Initiative: Its Objectives and Implications for Southeast Asia2023-12-29T16:11:41+07:00Nur Rachmat Yuliantoronur.rachmat@ugm.ac.id<p><em>China has introduced several initiatives aimed at further strengthening its influence both regionally and globally. As a complement to the Belt and Road Initiative, the Chinese government also launched the trio of Global Development Initiative, Global Security Initiative, and Global Civilization Initiative. The Global Security Initiative (GSI) has received widespread attention regarding its meaning, strategy, objectives, and implications for China’s role in international security and peace. By looking at this issue from the current dynamics of global security, this study invites us to understand what the GSI is and the goals that China wants to achieve with it, especially in Southeast Asia. The implications of the GSI for the region’s economic development and stability are also highlighted. China intends the GSI to act as a “broker” for achieving world peace, with strategic consequences for the stability of the Southeast Asian region.</em><br /><em><strong>Keywords</strong>: China; Global Security Initiative; Southeast Asia; regional stability; economic development.</em><br /><br /><em>Dewasa ini Cina telah memperkenalkan beberapa inisiatif yang ditujukan untuk semakin memperkuat pengaruhnya baik secara regional maupun global. Sebagai pelengkap dari Belt and Road Initiative, pemerintah Cina juga meluncurkan trio Global Development Initiative, Global Security Initiative, dan Global Civilization Initiative. Global Security Initiative (GSI) mendapatkan perhatian yang luas terkait dengan makna, strategi, tujuan, dan implikasinya bagi peran Cina dalam keamanan dan perdamaian internasional. Dengan melihat isu ini dari dinamika keamanan global yang berlaku, studi ini mengajak kita untuk memahami apa sesungguhnya GSI serta tujuan yang hendak Cina capai dengannya, khususnya di Asia Tenggara. Implikasi dari GSI terhadap pembangunan ekonomi dan kestabilan kawasan ini juga disorot oleh studi ini. GSI dimaksudkan oleh Cina untuk berperan sebagai “perantara” bagi upaya mencapai perdamaian dunia, dengan konsekuensi-konsekuensi strategis bagi kestabilan kawasan Asia Tenggara.</em><br /><em><strong>Kata-kata Kunci</strong>: Cina; Global Security Initiative; Asia Tenggara; stabilitas kawasan; pembangunan ekonomi.</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/52886Navigating Security Dilemma: South Korea’s Space Program during President Moon Jae-In’s Administration (2017-2022)2024-04-20T16:09:27+07:00Himmalia Dewi Alya Rahmahhimmarahma08@gmail.com<p><em>Research about South Korean space programs is quite challenging to find among other spacefaring nations such as the US, Russia, China, and even India. It contrasts with its achievements in space missions and programs over the past five years, particularly during President Moon Jae-in’s leadership. For instance, it finally launched its domestically built space launch vehicle, KSLV-II. South Korean space programs are especially interesting when juxtaposed with the volatility of the Korean Peninsula. Nonetheless, analysis of systemic constraints that limit South Korean space programs to pursue military-focused space programs is greatly overlooked. Hence, this research asks why South Korea avoids developing security/military-focused space programs and instead opts for peaceful space programs amid the presence of space threats in the region. This research uses two theoretical frameworks to answer the question: (1) the middlepowermanship approach by a middle power in a security dilemma, (2) post-Cold War space programs, and the logic of space economy. Two hypotheses are presented: (1) South Korea employs middlepowermanship by facilitating orderly change in dealing with the space threat in the Korean Peninsula (2) In manifesting the peaceful approach, South Korea is thus focusing on improving its civil space program, that is, the space economy to prevent worsening the tension in the region.</em><br /><em><strong>Keywords</strong>: South Korea, space programs, space threat, middle power, space economy<br /></em><br /><em>Dibandingkan dengan negara spacefaring lainnya seperti Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, bahkan India, penelitian mengenai program keantariksaan Korea Selatan cukup sulit ditemukan. Hal ini kontras dengan prestasi yang telah dicapai oleh Korea Selatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, khususnya pada era Presiden Moon Jae-in. Misalnya, keberhasilan peluncuran KSLV-II sebagai kendaraan peluncur antariksa pertama yang secara keseluruhan diproduksi secara domestik. Menilik lebih lanjut mengenai program keantariksaan Korea Selatan semakin menarik jika dikontraskan dengan ketidakstabilan Semenanjung Korea. Namun demikian, analisis hambatan sistemis yang membatasi opsi Korea Selatan untuk menempuh program keantariksaan yang berfokus pada bidang militer cenderung tidak banyak dibahas. Oleh karena itu, penelitian ini mempertanyakan mengapa Korea Selatan menghindari program keantariksaan yang berfokus pada aspek militer, dan justru memilih trajektori damai di tengah keberadaan ancaman-ancaman keantariksaan di kawasan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua kerangka teori yang digunakan (1) pendekatan middlepowermanship oleh middle power dalam dilema keamanan, (2) program keantariksaan pasca Perang Dingin, dan logika ekonomi keantariksaan. Dua hipotesis kemudian muncul, (1) Korea Selatan menggunakan middlepowermanship dengan memfasilitasi perubahan yang teratur guna mengatasi ancaman keantariksaan di Semenanjung Korea, (2) dalam memanifestasikan pendekatan damainya, Korea Selatan kemudian fokus dalam meningkatkan program keantariksaan sipilnya, yakni melalui ekonomi keantariksaan guna mencegah memburuknya ketegangan di kawasan.</em><br /><em><strong>Kata-kata Kunci</strong>: Korea Selatan, program keantariksaan, ancaman keantariksaan, middle power, ekonomi keantariksaan</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/54394Aspirations of Sub-State Actors in Sport: A Study of Quebec Paradiplomacy through the Instrument of Football2024-04-22T15:06:46+07:00Windy Dermawanwindy.dermawan@unpad.ac.idMohamad Fadelmohamad.fadel@unpad.ac.idArfin Sudirmanarfin.sudirman@unpad.ac.idRizal Budi Santosobudisantoso@widyatama.ac.id<p style="font-weight: 400;"><em>Quebec is a sub-state actor active in carrying out paradiplomacy in various fields. This is supported by Canada’s federal state form, which gives its constituent actors the freedom to conduct foreign relations freely. The dynamics of Quebec paradiplomacy are not only in the context of trade and investment but also in political aspects related to identity. Quebec is a sub-state actor whose citizens are predominantly French-Canadian (Quebecois). The desire to gain recognition for its identity as Quebecois makes Quebec active in carrying out paradiplomacy by participating in soccer in CONIFA. Entities in Quebec have fought for their identity as Quebecois through the self-determination movement. The purpose of this research is to analyze the efforts made by Quebec to show the existence of its identity abroad through paradiplomacy in the field of soccer. The research method used is qualitative, collecting data through interviews with several relevant sources, internet based studies, document tracking, and archives related to the research problem. This research shows that soccer has become one of the instruments Quebec uses to show its existence and identity as Quebecois to the global public. Although Quebec’s activities are no longer to pursue independence from Canada, Quebec uses football to promote the achievement of interests in other areas, such as economics and socio-culture.</em></p> <p><em><strong>Keywords</strong>: Identity, Paradiplomacy, Football, Sub-state, Quebec</em></p> <p style="font-weight: 400;"><em>Quebec merupakan aktor sub-negara yang sangat aktif melakukan paradiplomasi di berbagai bidang. Hal ini didukung oleh bentuk negara federal dari Kanada yang memberikan aktor konstituennya untuk melakukan hubungan luar negeri secara leluasa. Dinamika paradiplomasi Quebec tidak hanya dalam konteks perdagangan dan investasi, tetapi juga pada aspek politik yang terkait dengan identitas. Quebec sebagai aktor sub-negara yang mayoritas warganya Prancis-Kanada (Quebecois). Keinginan untuk mendapatkan pengakuan terhadap identitasnya sebagai Quebecois inilah yang menjadikan Quebec aktif dalam melaksanakan paradiplomasi melalui keikutsertaannyadalam olahraga sepakbola dalam CONIFA. Bahkan, entitas di Quebec pernah memperjuangkan identitas sebagai Quebecois melalui gerakan self-determination. Tujuan dari riset ini adalah menganalisis upaya-upaya yang dilakukan oleh Quebec untuk menunjukkan eksistensi identitasnya di luar negeri melalui paradiplomasi di bidang olahraga sepakbola. Metode riset yang digunakan adalah kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara terhadap sejumlah narasumber yang relevan, studi berbasiskan internet, pelacakan dokumen dan arsip yang terkait dengan masalah riset. Riset ini menunjukkan bahwa olahraga sepakbola telah menjadi salah satu instrumen bagi Quebec untuk menunjukkan eksistensi dan identitasnya sebagai Quebecois terhadap publik global. Meskipun kegiatan Quebec ini bukan lagi untuk mengejar kemerdekaan dari Kanada, Quebec menggunakan instrumen sepakbola untuk promosi dalam pencapaian kepentingan di bidang lain, seperti ekonomi dan sosial budaya.</em></p> <p><em><strong>Kata-kata Kunci:</strong> Identitas, Paradiplomasi, Sepakbola, Sub-negara, Quebec.</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/55941"Diversity in the Workplace": Indonesian Muslim Migrant Workers' Experiences in Japan2024-04-22T15:15:32+07:00Yusy Widarahestyyusy_widarahesty@uai.ac.id<p><em>A rapidly shrinking and aging population has pushed the Japanese government to relax certain border regulations to let in more foreign workers. JICA predicts that by 2040, Japan will need to double its foreign workforce to more than 6 million. This is also in line with the Japanese government’s policy plan which opens up opportunities for foreign workers to enter from various countries through technical intern trainee visas, specified skilled workers, professional workers, etc. As a result, under the Abe administration, the Japanese government launched the Diversity and Empowerment in the Workplace campaign to welcome international workers as one of the social integration policies to achieve harmony. Thus, this paper aims to analyze how the synergy of diversity in workplace policy toward Muslim migrant workers in Japan progresses by using ethnography and participant observation as a methodological approach. Qualitative data was collected between 2018 and 2023 through participant observations and semi structured interviews. By looking at the stories conveyed, it seems that the ‘diversity in workplace policies’ cannot yet be adequately implemented for Muslim workers, especially </em><em>those with semi-skilled visa categories such as trainees and SSW. Furthermore, social integration efforts through workplace diversity policies are hampered because some Japanese companies continue to have a bad working culture that promotes productivity by imposing long working hours. This has become a problem for Japanese workers and has prompted criticism and efforts to change.</em></p> <p><em><strong>Keywords</strong>: “Diversity in the workplace”, Indonesian Migrant Workers, Muslim, Japan</em></p> <p><em>Populasi yang menyusut dan menua dengan cepat telah mendorong pemerintah Jepang untuk melonggarkan peraturan perbatasannya agar dapat menerima lebih banyak pekerja asing. JICA memperkirakan Jepang perlu meningkatkan jumlah tenaga kerja asing sebanyak empat kali lipat menjadi lebih dari enam juta pada tahun 2040. Hal ini juga sejalan dengan rencana kebijakan pemerintah Jepang yang membuka peluang masuknya tenaga kerja asing dari berbagai negara melalui berbagai jenis visa seperti pemagang kerja, pekerja berketerampilan khusus, pekerja profesional, dll. Oleh karena itu, untuk menyambut masuknya pekerja asing, pemerintah Jepang pada masa pemerintahan Abe telah mencanangkan slogan keberagaman dan pemberdayaan di lingkungan kerja sebagai upaya strategi integrasi sosial. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana sinergitas kebijakan keberagaman di tempat kerja Jepang terhadap pekerja migran Muslim di Jepang dengan menggunakan etnografi dan observasi partisipan sebagai pendekatan metodologis. Data kualitatif dikumpulkan antara tahun 2018 sampai 2023 melalui observasi partisipan dan wawancara semi terstruktur. Dengan melihat kisah-kisah yang disampaikan, tampaknya ‘kebijakan keberagaman di tempat kerja’ belum dapat diterapkan secara memadai bagi pekerja Muslim, terutama mereka yang memiliki kategori visa semi-terampil seperti pekerja magang dan pekerja Spesial Skill Workers/SSW. Lebih jauh, upaya integrasi sosial melalui kebijakan keberagaman di tempat kerja terhambat karena buruknya budaya kerja di beberapa perusahaan Jepang yang mempromosikan produktivitas dengan memberlakukan jam kerja yang panjang. Hal tersebut menjadi masalah bagi pekerja Jepang dan telah memicu kritik serta upaya untuk berubah.</em></p> <p><em><strong>Kata-kata Kunci</strong>: “Diversity in the workplace”, Pekerja Migran Indonesia, Muslim Indonesia, Jepang</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/56703“Made in China 2025 Initiative” and Dual Circulation Economy: Reducing Dependence on U.S. Technology2024-08-13T12:44:07+07:00Ferdian Ahya Al Putraferdianahya@staff.uns.ac.idSeptyanto Galan Prakososeptyantogalan@staff.uns.ac.idRahma Sintya Devirahmasintya@student.uns.ac.id<p><em>The “Made in China” 2025 Initiative and Dual Circular Economy emerged as strategies to propel China towards becoming a global leader in advanced technologies. It also aims to reduce dependence on foreign technology products, particularly from the United States, since the increased geopolitical tensions and trade disputes arose between the two countries. Meanwhile, the Dual Circulation Economy can be perceived as an economic strategy emphasizing domestic and international circulation of goods, services, and technologies. This strategy prioritizes bolstering domestic innovation, production, and consumption while maintaining selective engagement with the global market. Previous research discussed the topic of Made in China 2025 and Dual Circulation separately. Meanwhile, the study shows close synergy between those strategies in achieving the same goal. This research used a qualitative descriptive method with data collection technique through library research on various sources such as books, journal articles, news, etc. The research used the hegemonic stability theory for analysis. The result reveals that the Dual Circulation Economy provides a framework for nurturing domestic innovation and production capabilities. At the same time, the Made in China 2025 initiative offers a roadmap for advancing industries critical to China's technological independence. This article examines the synergies between these policies and assesses their effectiveness in reducing China's dependence on US technology. It also discusses the implications and the shift in economic strategy to global trade dynamics and geopolitical relations. </em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Made in China 2025, Dual Circulation Economy, Technology, China, United States</em></p> <p><em>Inisiatif “Made in China” 2025 dan Dual Circular Economy muncul sebagai strategi yang diambil untuk mendorong Tiongkok menjadi pemimpin global dalam teknologi canggih. Inisiatif ini juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada produk teknologi asing, khususnya dari Amerika Serikat, mengingat peningkatan ketegangan geopolitik dan sengketa perdagangan antara keduanya. Sementara itu, strategi Dual Circular Economy dapat dianggap sebagai strategi ekonomi yang menekankan sirkulasi barang, jasa, dan teknologi domestik dan internasional, yang memprioritaskan peningkatan inovasi, produksi, dan konsumsi domestik sambil mempertahankan keterlibatan selektif dengan pasar global. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan pada berbagai sumber, menggunakan teori stabilitas hegemonik untuk analisis. Hasil menunjukkan bahwa Dual Circular Economy menyediakan kerangka kerja untuk memelihara inovasi dan kemampuan produksi dalam negeri, sementara inisiatif Made in China 2025 menawarkan peta jalan untuk memajukan industri yang penting bagi kemandirian teknologi China. Artikel ini mengkaji sinergi antara kebijakan-kebijakan ini dan menilai efektivitasnya dalam mengurangi ketergantungan China pada teknologi AS. Artikel ini juga membahas implikasi dan pergeseran strategi ekonomi terhadap dinamika perdagangan global dan hubungan geopolitik.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong><em>: Made in China 2025, Dual Circulation Economy, Teknologi, China, Amerika Serikat</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/62948Assessing the Impact of Decentralization on the Quality of Indonesian Democracy2024-09-15T22:10:00+07:00Yenny Chandrascydy4@gmail.com<p><em>This research focuses on the impact of decentralization on Indonesian democracy, particularly post-Suharto, where decades of centralized governance shifted to a decentralized one. Drawing on Hofman & Kaiser (2006), the theoretical framework links decentralization to democracy by emphasizing political participation, regional governance empowerment, and accountability. Decentralization is not only viewed as a mechanism that provides grassroots populations with political and administrative decision-making capacities but also ensures local governments are no longer directly accountable to the central government in Jakarta and are instead responsible to their local constituents. Nevertheless, decentralization also presents challenges, and notably, in a heterogeneous society like Indonesia, the management of ethnic and religious diversity is one. While decentralization is considered the embodiment of Indonesian democracy, numerous issues have hampered efforts to improve the quality of local governance and democracy. Ultimately, decentralization and democracy are deeply interdependent, as the quality of one shall reflect on the other.</em></p> <p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> Indonesian democracy, Decentralization, Regional autonomy, Local </em><em>governance, Identity politics</em></p> <p><em>Penelitian ini berpusat pada dampak desentralisasi terhadap demokrasi di Indonesia, terutama pada era pasca-Suharto, ketika penerapan pemerintahan terpusat selama puluhan tahun beralih ke desentralisasi. Mengacu pada Hofman & Kaiser (2006), kerangka teoretis menghubungkan antara desentralisasi dan demokrasi dengan menekankan pada partisipasi politik, pemberdayaan tata kelola regional, dan akuntabilitas. Desentralisasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah mekanisme yang memberi masyarakat di tingkat akar rumput kapasitas pengambilan keputusan politik dan administrasi, tetapi juga memastikan bahwa pemerintah daerah tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat di Jakarta – melainkan bertanggung jawab kepada konstituen lokal mereka. Namun, desentralisasi juga menghadirkan tantangan, terutama dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, dengan pengelolaan keragaman etnis dan agama menjadi isu yang signifikan. Meskipun desentralisasi dianggap sebagai wujud dari demokrasi Indonesia, berbagai masalah telah menghambat upaya untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dan demokrasi lokal. Pada akhirnya, desentralisasi dan demokrasi saling bergantung erat, dengan kualitas salah satunya akan mencerminkan kualitas yang lain.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci:</em></strong><em> Demokrasi Indonesia, Desentralisasi, Otonomi daerah, Pemerintahan daerah, Politik identitas</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/51548Indonesia’s Food Security and Food Sovereignty Under Agricultural Trade Liberalization2024-08-14T03:47:27+07:00Suyani Indriastutis_indriastuti.fisip@unej.ac.idAbubakar Eby Haraeby-hara.fisip@unej.ac.idHimawan Bayu Patriadihbpatriadi@gmail.comAgus Trihartonoatrihartono@unej.ac.idBagus Sigit Sunarkosigit.fisip@unej.ac.id<p><em>Agricultural trade liberalisation affects food security and food sovereignty in Indonesia. This article aims to analyse the extent to which agricultural trade liberalisation impacts food security and food sovereignty, as well as examine the dilemmas faced by the Indonesian government related to agricultural liberalisation, food security, and food sovereignty. This research applies qualitative process-tracing case studies using primary data from interviews and secondary data by analysing documents, news, or statistical data provided by institutions such as Indonesian National Statistics, the Food and Agricultural Organization (FAO), and other institutions. This research found that agriculture is a comparative advantage of Indonesia. It supports the achievement of a surplus balance of trade in the global agricultural markets. However, it is challenging and dilemmatic in the context of food commodities. In the short term, agricultural liberalisation might support the achievement of food security as it provides availability of food and food access both physically and economically. However, at the same time, agricultural liberalisation also threatens food sovereignty as it raises dependence on food imports. In the long run, dependency on food imports could endanger food security if there is a change in the political economy of the global market system.</em><br /><em><strong>Keywords</strong>: Liberalisation of Agriculture, Food Security, Food Sovereignty</em></p> <p><br /><em>Liberalisasi pertanian mempengaruhi ketahanan pangan dan kedaulatan pangan di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana dampak liberalisasi pertanian terhadap ketahanan pangan dan kedaulatan pangan serta dilema yang dihadapi pemerintah Indonesia terkait liberalisasi pertanian, ketahanan pangan, dan kedaulatan pangan. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif process-tracing analisis dengan menggunakan data primer yang diperoleh melalui interview dan data sekunder dikumpulkan dengan metode “desk research” termasuk menganalisis dokumen, berita, atau data statistik yang disediakan oleh lembaga-lembaga seperti Statistik Nasional Indonesia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan lembaga lainnya. Penelitian ini menemukan bahwa pertanian merupakan keunggulan komparatif bagi Indonesia yang mendukung pencapaian surplus neraca perdagangan komoditas pertanian di pasar global. Namun, dalam konteks komoditas pangan, permasalahan bersifat kompleks dan dilematis. Dalam jangka pendek, liberalisasi pertanian dapat mendukung pencapaian ketahanan pangan karena menyediakan ketersediaan pangan yang dapat diakses oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau. Namun, pada saat yang sama, liberalisasi pertanian juga mengancam kedaulatan pangan karena meningkatkan ketergantungan pada impor pangan. Dalam jangka panjang, ketergantungan impor pangan dapat membahayakan ketahanan pangan jika terjadi perubahan struktur ekonomi politik pada sistem pasar global.</em><br /><em><strong>Kata-kata Kunci</strong>: Liberalisasi Pertanian, Ketahanan Pangan, Kedaulatan Pangan</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/54425Twenty Years Post-Iraq: Neoconservatism from the Ethereal into the Room2024-04-20T14:47:39+07:00Rifqy Tenribali EshanasirRifqy.Eshanasir@anu.edu.au<p><em>Over twenty years after the controversial 2003 Iraq War, there has been several academic foreign policy analyses into what factors influenced United States (US) President, George Bush, and his administration’s decision to invade Iraq. Investigations into influential factors behind critical decisions made on behalf of the state like this can be called ‘Foreign Policy Analysis’ and is done to understand and potentially predict similar decisions in the future. Regarding the 2003 Iraq Invasion, different Scholars emphasise domestic-level factors, including US bureaucratic politics, media and public opinions, the interests of US neoconservatives or national culture and identity. Additionally, some scholars emphasise international-level factors, namely the importance of oil for the US and the influences of the global balance of power. This article argues a combination of neoconservative interest groups, US bureaucratic politics, and small-group dynamics especially influenced President Bush’s invasion decision. Specifically, neoconservative interest groups navigated US bureaucratic politics to gain high governmental positions and influenced small-group dynamics, limiting President Bush’s perception of alternatives and ultimately deciding to invade Iraq. The article proposes an explanatory narrative for the Iraq War, exploring neoconservatism’s journey as an intangible idea, to being institutionalised, and making its way into President Bush’s inner circle through certain individuals.</em><br /><em><strong>Keywords</strong>: Bureaucratic Politics, Foreign Policy Analysis, Interest Groups, Iraq War, Small-Group Dynamics.<br /></em><br /><em>Lebih dari dua puluh tahun setelah Perang Irak yang kontroversial pada tahun 2003, terdapat beberapa analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), George Bush, dan pemerintahannya untuk menginvasi Irak. Para ahli menekankan pentingnya faktor-faktor di tingkat dalam negeri (domestik), termasuk politik birokrasi AS, media dan opini publik, kepentingan kaum neokonservatif AS, maupun budaya dan identitas nasional negara tersebut. Beberapa ahli juga menekankan faktor-faktor di tingkat internasional, misalnya pentingnya minyak bagi AS dan pengaruh keseimbangan kekuatan global. Artikel ini berargumentasi bahwa kombinasi kelompok kepentingan neokonservatif, politik birokrasi AS, dan dinamika kelompok kecil berperan penting dalam mendorong Keputusan Presiden Bush untuk menginvasi Irak. Secara khusus, kelompok kepentingan neokonservatif memanfaatkan politik birokrasi AS demi mendapatkan posisi yang tinggi dalam pemerintahan dan mempengaruhi dinamika kelompok kecil yang kemudian membatasi persepsi Presiden Bush dari alternatif lain dan mendorongnya memutuskan untuk menyerang Irak. Artikel ini menawarkan narasi penjelas mengenai Perang Irak yang mengeksplorasi perjalanan neokonservatisme dari sebuah ide yang tidak berwujud, menuju ide yang terlembagakan, dan kemudian masuk ke lingkaran dalam Presiden Bush melalui individu-individu tertentu.</em><br /><em><strong>Kata-kata Kunci</strong>: Politik Birokrasi, Analisis Kebijakan Luar Negeri, Kelompok Kepentingan, Perang Irak, Dinamika Kelompok Kecil.</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/61810The Military and ASEAN's Principle of Non-Interference2024-08-15T09:38:02+07:00Yohanes Sulaimanysulaiman@gmail.com<p><em>ASEAN’s principle of non-interference is perhaps one of its most controversial aspects. While it is seen as essential for ASEAN, especially by constructivists, to allow the creation of a shared norm and a common regional identity, detractors note its detrimental effects that hamper further regional integration and prevent ASEAN from effectively dealing with human rights abuses in its member states. This article argues that ASEAN’s principle of non-interference is essentially a byproduct of the military's influence in the politics of some of the members of ASEAN, shaping ASEAN’s identity – and, in turn, its fixation on the principle of non-interference. Essentially, it could be argued that for members of ASEAN, despite its flaws, the principle of self-interference is working as intended.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: ASEAN, Military, Non-interference, Regional Integration, History of ASEAN</em></p> <p><strong><em> </em></strong></p> <p><em>Prinsip non-interferensi ASEAN mungkin adalah salah satu aspek yang paling kontroversial. Meskipun prinsip ini dianggap penting untuk ASEAN, terutama oleh kaum konstruktivis, untuk memungkinkan terciptanya norma kebersamaan dan terbentuknya identitas Asia Tenggara, para pengkritik menyorot dampak negatifnya yang menghambat integrasi regional lebih lanjut dan mencegah ASEAN dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia secara efektif di negara-negara anggotanya. Artikel memiliki argumen bahwa prinsip non-interferensi ASEAN pada dasarnya adalah hasil dari pengaruh militer dalam politik beberapa anggota ASEAN, yang membentuk identitas ASEAN – dan pada gilirannya, fokusnya pada prinsip non-interferensi. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa bagi anggota ASEAN, meskipun memiliki kelemahan, prinsip non-interferensi bekerja sesuai dengan tujuannya.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong><em>: ASEAN, Militer, Non-intervensi, Integrasi Regional, Sejarah ASEAN</em></p>2024-10-31T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Global Strategis