https://e-journal.unair.ac.id/JGS/issue/feedGlobal Strategis2025-02-27T11:12:25+07:00Baiq LSW Wardhanibaiq.wardhani@fisip.unair.ac.idOpen Journal Systems<p align="justify">Global Strategis is a scientific journal published twice a year. Global Strategis invite discussions, reviews, and analysis of contemporary international issues with specialization in four main themes: international peace and security; international political economy; international businesses and organization; as well as globalization and strategy. Global Strategis published by Cakra Studi Global Strategis (CSGS), center of studies that discussed contemporary issues of international relations. CSGS is managed by Department of International Relations, Universitas Airlangga</p> <p align="justify">Global Strategis has been certificated as a Scientific Journal and <span style="font-size: 10px;">accredited second grade (Sinta 2 or S2) since December 2021 by the <strong>Indonesian Ministry of Education, Culture, Research, and Technology (Kemdikbudristek)</strong>.</span><span style="font-size: 10px;"> Update Accreditation Number: 5162/E4/AK.04/2021, valid until JGS Vol. 19 No. 2, 2025.</span></p>https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/62208Australia's Strategic Hedging in the Indo-Pacific: A Neoclassical Realist Analysis of RCEP and AUKUS 2024-10-05T11:51:23+07:00Syah Rezzasyah.rezza@ui.ac.id<p><em>Hedging will continue to remain as the linchpin between Australia and China amidst this complex geopolitical environment of the Indo-Pacific. This paper delves into the details of this approach, namely Australia’s participation in the Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) and the AUKUS pact, through neoclassical realism. The researcher reflects on how leadership styles and domestic political pressures influence the Australian approach towards China. Second, it explains the factors related to the increasing geopolitical role in the Indo-Pacific and how they affect Australian foreign policy. The study foregrounds the strategic rationale for Australia’s economic and security maneuvers, underlining leadership and internal dynamics in steering foreign policy. Examining the policy documents, speeches, and academic discourses of these policymakers uncovers the intricate calculations by Australia to attempt to reconcile its economic interests with security needs in a dynamic regional order. The study provides an in-depth view of leadership’s role in facing the trials and opportunities that arise due to China’s rise and furthering the deepening of the discourse on state behavior in international relations.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Australia, China, RCEP, AUKUS, Neoclassical Realism</em></p> <p><strong><em> </em></strong></p> <p><em>Hedging akan terus menjadi kunci utama antara Australia dan Tiongkok di tengah lingkungan geopolitik yang rumit di Indo-Pasifik. Tulisan ini membahas pendekatan tersebut secara rinci, yakni partisipasi Australia dalam Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan pakta AUKUS, dengan menggunakan sudut pandang realisme neoklasik. Penulis merefleksikan bagaimana gaya kepemimpinan dan tekanan politik dalam negeri berinteraksi untuk membentuk pendekatan Australia terhadap Tiongkok. Kedua, tulisan ini menjelaskan faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan peran geopolitik di Indo-Pasifik dan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kebijakan luar negeri Australia. Studi ini mengedepankan alasan strategis untuk manuver ekonomi dan keamanan Australia, menggarisbawahi kepemimpinan dan dinamika internal dalam mengarahkan kebijakan luar negeri. Kajian terhadap dokumen kebijakan, pidato, dan wacana akademis para pembuat kebijakan dapat digunakan untuk menelusuri perhitungan Australia yang rumit dalam penyesuaian kepentingan ekonominya dengan kebutuhan keamanan dalam dinamika tatanan regional. Penelitian ini memberikan pandangan mendalam tentang peran kepemimpinan dalam ketahanan dan menanggapi peluang yang muncul akibat kebangkitan Tiongkok sekaligus memajukan pendalaman diskursus tentang perilaku negara dalam hubungan internasional.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong><em>: Australia, Tiongkok, RCEP, AUKUS, Realisme Neoklasik</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/61767The Clash of Liberties: Religious Freedom, Human Rights, and the Ascendance of Christian Nationalism in the United States2024-09-05T18:21:51+07:00James William Kusumawikanjames.jwkw@gmail.com<p><em>The guarantee of religious freedom enshrined in the United States Constitution, intended to protect the diverse religious beliefs of its citizens, has inadvertently spawned unforeseen consequences. This article examines how the noble principle of religious freedom has intersected with the rise of Christian nationalism, posing a significant threat to democracy and human rights within the nation. Despite the Constitution's emphasis on individual liberties, the emergence of Christian nationalism has fueled a divisive narrative that privileges certain religious identities over others, thereby undermining the foundational principles of equality and pluralism. Through an analysis of historical contexts, legal frameworks, and contemporary socio-political dynamics, this article explores the complex interplay between religious freedom, human rights, and the encroachment of Christian nationalism on democratic norms. It sheds light on the challenges posed by this paradoxical situation and underscores the urgent need for safeguarding both religious freedom and human rights within the United States' democratic framework.</em></p> <p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> Religious freedom, US Constitution, Christian nationalism, Democracy, Human rights, Pluralism, Socio-political dynamics. </em></p> <p><em>Jaminan kebebasan beragama yang diabadikan dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang dimaksudkan untuk melindungi beragam keyakinan agama warga negaranya, telah secara tidak sengaja menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga. Artikel ini mengkaji bagaimana prinsip mulia kebebasan beragama telah bersinggungan dengan kebangkitan nasionalisme Kristen, yang menimbulkan ancaman signifikan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di dalam negara tersebut. Meskipun Konstitusi menekankan kebebasan individu, kemunculan nasionalisme Kristen telah memicu narasi yang memprivilesekan identitas agama tertentu di atas yang lain, sehingga merongrong prinsip-prinsip dasar kesetaraan dan pluralisme. Melalui analisis konteks historis, kerangka hukum, dan dinamika sosial-politik kontemporer, artikel ini mengeksplorasi interaksi kompleks antara kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan merambahnya nasionalisme Kristen pada norma-norma demokrasi. Artikel ini mengeksplorasi tantangan yang ditimbulkan oleh situasi paradoksal yang ditimbulkan dan menekankan perlunya upaya yang mendesak untuk melindungi baik kebebasan beragama maupun hak asasi manusia dalam kerangka demokrasi Amerika Serikat.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci: </em></strong><em>Kebebasan beragama, Konstitusi AS, Nasionalisme Kristen, Demokrasi, Hak asasi manusia, Pluralisme, Dinamika sosial-politik.</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/54169Analyzing The Easing of Japan’s Arms Disarmament Policy Between 2010-20202024-04-20T17:46:24+07:00Rani Dian Iswariranidianiswari@ugm.ac.idNadhif Fadhlan Musyaffanadhiffadhlanm@gmail.com<p><em>Arms disarmament policy is widely implemented among countries in the world, especially after the Cold War era. On the other hand, the Japanese Government's policy in easing disarmament arms policy has become a new 'way' in Japan's military ideology since its loss in World War II and was forced to implement pacifism. This study uses the defensive realism theory to explain why Japan eased its arms disarmament policy from 2010 to 2020 under three prime ministers. This research was conducted using qualitative methods using primary data from ministries and departments of Japan and secondary data from scientific journals, books, theses, newspaper articles, and websites. The study results show that easing Japan's disarmament policy is a form of action to maintain the balance of power, especially to balance the aggressiveness of the People's Republic of China (China) and the Democratic People's Republic of Korea (North Korea) in terms of military.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>balance of power, Japan's arms disarmament policy, Japan’ military, policy loosening/easing </em></p> <p><em>Kebijakan perlucutan senjata banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia, terutama setelah era Perang Dingin. Di sisi lain, kebijakan Pemerintah Jepang dalam melonggarkan kebijakan perlucutan senjata menjadi 'cara' baru dalam ideologi militer Jepang sejak kekalahannya dalam Perang Dunia II dan terpaksa menerapkan pasifisme. Penelitian ini menggunakan teori realisme defensif untuk menjelaskan mengapa Jepang melonggarkan kebijakan perlucutan senjatanya pada tahun 2010 hingga 2020 di bawah tiga perdana menteri. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan data primer dari kementerian dan departemen di Jepang dan data sekunder dari jurnal ilmiah, buku, tesis, artikel surat kabar, dan website. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelonggaran kebijakan perlucutan senjata Jepang merupakan salah satu bentuk tindakan untuk menjaga keseimbangan kekuatan, terutama untuk menyeimbangkan agresivitas negara Republik Rakyat Tiongkok (Tiongkok) dan Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) dalam hal militer.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci: </em></strong><em>keseimbangan kekuatan, kebijakan perlucutan senjata Jepang, militer Jepang, pelonggaran kebijakan</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/68117Increasing Indonesia-Timor Leste Borders Diplomacy through Community-Based Health Security2025-01-23T06:11:55+07:00Ludiro Maduludiro.madu@upnyk.ac.idAryanta Nugrahaaryantanugraha@upnyk.ac.idYudhy Kusumoyudhy.widya@upnyk.ac.id<p><em>This research focuses on the growing importance of health security in Indonesia-Timor Leste border diplomacy after the Covid-19 pandemic. This study uses qualitative methods to reveal a paradigm shift from traditional security to non-traditional security, especially health. The data comes from observations and documents collected in border areas related to health security in response to cross-border threats in both countries. The community-based health security perspective is used to analyze the expansion of health threats and the role of border diplomacy in addressing public health threats. This analysis reveals three important issues: (1) redefining the border security paradigm, (2) positioning border health security diplomacy as a collaborative mechanism, and (3) the participation of border communities in border security diplomacy. This research makes an important contribution to the development of a collaborative model of border health security diplomacy through community participation in improving health security in the border areas of the two countries. The findings offer an alternative health security policy in border diplomacy between Indonesia and Timor Leste and other border areas in Indonesia. </em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Border health security, Health diplomacy, Community empowerment, Indonesia-Timor Leste, Covid-19</em></p> <p><em>Penelitian ini berfokus pada semakin pentingnya keamanan kesehatan dalam diplomasi perbatasan Indonesia-Timor Leste pasca pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengungkapkan pergeseran paradigma dari keamanan tradisional ke keamanan non-tradisional, khususnya kesehatan. Data tersebut berasal dari pengamatan dan dokumen yang dikumpulkan di daerah perbatasan terkait keamanan kesehatan dalam menanggapi ancaman lintas batas di kedua negara. Perspektif keamanan kesehatan berbasis masyarakat digunakan untuk menganalisis perluasan ancaman kesehatan dan peran diplomasi perbatasan dalam mengatasi ancaman kesehatan masyarakat. Analisis ini mengungkapkan tiga isu penting: (1) mendefinisikan kembali paradigma keamanan perbatasan, (2) memposisikan diplomasi keamanan kesehatan perbatasan sebagai mekanisme kolaboratif, dan (3) partisipasi masyarakat perbatasan dalam diplomasi keamanan perbatasan. Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi pengembangan model kolaboratif diplomasi keamanan kesehatan perbatasan melalui partisipasi masyarakat dalam meningkatkan keamanan kesehatan di wilayah perbatasan kedua negara. Temuan ini menawarkan alternatif kebijakan keamanan kesehatan dalam diplomasi perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste dan daerah perbatasan lainnya di Indonesia. </em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong><em>: Keamanan kesehatan perbatasan, diplomasi kesehatan, pemberdayaan masyarakat, Indonesia-Timor Leste, Covid-19</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/62053China’s Dedollarization Policy Through BRICS Cooperation in 2022-20232024-09-16T23:30:52+07:00Diva Calista Hanantocalistahanantodiva@gmail.comWiwiek Rukmi Dwi Astutiwiwiek.rukmi@upnvj.ac.id<p><em>The momentum challenging the dominance of the US dollar in the international financial system resurfaced in 2022 when Russia faced sanctions from the West. China, responding to the instability caused by the dollar's dominance, has pursued strategic dedollarization through BRICS cooperation. This research analyzes China's dedollarization efforts using a qualitative approach rooted in monetary policy and dedollarization theory. Key initiatives include the development of the New Development Bank (NDB), Bilateral Swap Agreements (BSA), and the Cross-Border Interbank Payment System (CIPS), all aimed at reducing dependence on the Western-controlled financial system. These efforts have garnered attention from the United States due to their potential long-term impact on dollar hegemony. China’s indirect leadership within BRICS highlights its role in shaping dedollarization policies, particularly in the aftermath of the 2022 sanctions against Russia. While these measures are still far from rivaling the US dollar's dominance, they signal a shift towards a multipolar global monetary system with the potential for significant changes in global financial dynamics in the future.</em></p> <p><em><strong>Keywords:</strong> Dedollarization, China, BRICS</em></p> <p><em>Momentum tantangan terhadap dominasi dolar Amerika Serikat dalam sistem keuangan internasional kembali muncul pada tahun 2022 ketika Rusia menerima sanksi dari Barat. Sebagai respons terhadap ketidaksetaraan dan ketidakstabilan akibat dominasi dolar, Tiongkok melalui kerja sama dengan BRICS mengambil berbagai langkah strategis dedolarisasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis upaya Tiongkok dalam kebijakan dedolarisasi melalui aliansi BRICS, menggunakan metode kualitatif berdasarkan data sekunder, dengan pendekatan teori kebijakan moneter dan dedolarisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tiongkok telah menjadi penggerak utama dalam beberapa kebijakan dedolarisasinya melalui kerja sama BRICS, seperti pengembangan New Development Bank (NDB), pembentukan Bilateral Swap Agreement (BSA), dan pengembangan Cross-Border Interbank Payment System (CIPS), yang semuanya bertujuan mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan global yang dikendalikan Barat. Dalam konteks geopolitik global, upaya dedolarisasi Tiongkok menjadi perhatian khusus bagi Amerika Serikat, terutama karena potensi pengaruhnya terhadap dominasi dolar dalam jangka panjang. Kepemimpinan tidak langsung Tiongkok dalam BRICS menunjukkan bagaimana negara ini mengembangkan kebijakan dedolarisasinya, terutama setelah sanksi terhadap Rusia pada awal 2022. Meskipun masih jauh dari menyaingi dominasi dolar AS, langkah-langkah ini menunjukkan pergeseran menuju multipolaritas dalam sistem moneter global, dengan potensi dampak besar pada dinamika keuangan global di masa depan.</em></p> <p><em><strong>Kata-kata Kunci:</strong> Dedolarisasi, Tiongkok, BRICS</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/61173Navigating Digital Frontiers: Estonia’s e-Residency through the Lens of the Eclectic Paradigm2024-09-15T21:49:55+07:00Ken Budi Luhurkenbuds15@gmail.comAgus Trihartonoatrihartono@unej.ac.idAbubakar Eby Haraeby-hara.fisip@unej.ac.id<p><em>The Estonian e-Residency program, launched in 2014, allows non-residents to access Estonia’s advanced digital infrastructure and services. It provides a secure digital identity to individuals worldwide, enabling them to start and manage a location-independent business online within the European Union without needing to physically reside in Estonia. This study explores the opportunities and challenges of e-Residency through qualitative methods and the Eclectic Paradigm model by John Dunning. While e-Residency does not grant physical residency, citizenship, or tax residency, is especially attractive to individuals seeking to leverage Estonia’s advanced digital infrastructure and favorable business environment. Key opportunities include leveraging Estonia’s advanced digital infrastructure and accessing the European Union market, significantly enhancing business efficiency and economic participation. However, the novelty of the e-Residency concept still faces challenges from the challenge of low global adoption, which requires optimization for broader relevance and impact. Lastly, this research underscores the need for strategic improvements to maximize the program’s potential and suggests further development to achieve its global aspirations. </em></p> <p><em><strong>Keywords:</strong> e-Residency, Digital Identity, Estonia, Eclectic Paradigm </em></p> <p><em>Program e-Residency Estonia, yang diluncurkan pada tahun 2014, memungkinkan non-residen untuk mengakses infrastruktur dan layanan digital canggih Estonia. Program ini menyediakan identitas digital yang aman bagi individu di seluruh dunia, yang memungkinkan mereka untuk memulai dan mengelola bisnis daring yang tidak bergantung pada lokasi di Uni Eropa tanpa perlu bertempat tinggal secara fisik di Estonia. Studi ini mengeksplorasi peluang dan tantangan e-Residency melalui metode kualitatif dan model Paradigma Eklektik oleh John Dunning. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun e-Residency tidak memberikan tempat tinggal fisik, kewarganegaraan, atau pajak tempat tinggal, tetapi sangat menarik bagi individu yang ingin memanfaatkan infrastruktur digital canggih Estonia dan lingkungan bisnis yang menguntungkan. Peluang utama termasuk memanfaatkan infrastruktur digital canggih Estonia dan mengakses pasar Uni Eropa, yang secara signifikan meningkatkan efisiensi bisnis dan partisipasi ekonomi. Namun, di sisi lain, kebaruan konsep e-Residency masih mengalami tantangan berupa adopsi global yang masih rendah sehingga memerlukan pengoptimalan untuk relevansi dan dampak yang lebih luas. Terakhir, penelitian ini menggarisbawahi perlunya peningkatan strategis untuk memaksimalkan potensi program dan menyarankan pengembangan lebih lanjut untuk mencapai aspirasi globalnya. </em></p> <p><em><strong>Kata-kata Kunci:</strong> e-Residency, Identitas Digital, Estonia, Paradigma Eklektik</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/68742China’s COVID-19 Humanitarian Response: A Case Study on Indonesia Through Human Security Perspective2025-01-23T06:18:30+07:00Nuke Faridha Wardhaninu.wardhani@fisip.unair.ac.idRidha Amaliaridhaamalia@fisip.unsri.ac.idBrillin Yapplybrillinyapply@gmail.com<p><em>China’s humanitarian aid during the COVID-19 pandemic highlights the interplay between human security principles and strategic foreign policy. This study examines China’s assistance to Indonesia, a key partner under the Belt and Road Initiative, focusing on the effectiveness, empowerment, and motives behind its actions. Drawing on the human security framework, the article analyzes China’s rapid response through the provision of medical supplies, vaccines, and long-term capacity-building efforts. Key initiatives, such as the Sinovac-Bio Farma vaccine collaboration, illustrate how China integrated immediate relief with long-term cooperation, addressing both health crises and systemic vulnerabilities. The findings emphasize China’s dual motivations namely upholding human security norms and advancing its global position. By leveraging multilateral platforms and bilateral partnerships, China demonstrated its commitment to addressing global health challenges while fostering deeper ties with Indonesia. This case provides valuable lessons for incorporating human security into future foreign aid strategies, underscoring the importance of international cooperation in tackling shared crises.</em></p> <p><em><strong>Keywords</strong>: Human Security, Humanitarian Aid, COVID-19 Pandemic, Belt and Road Initiative (BRI), Sino-Indonesian Relations</em></p> <p><em>Bantuan kemanusiaan Tiongkok ketika pandemi COVID-19 menyoroti keterkaitan antara prinsip keamanan manusia dan kebijakan luar negeri Tiongkok yang strategis. Studi ini mengkaji bantuan kemanusiaan Tiongkok kepada Indonesia yang berfokus pada tiga aspek, yakni efektivitas, pemberdayaan, dan motif, dimana Indonesia merupakan salah satu mitra strategis dalam kerja sama Belt and Road Initiative. Dalam perspektif keamanan manusia, dapat diketahui bagaimana Tiongkok menyediakan bantuan alatalat kesehatan, yakni kerja sama vaksin Sinovac-Bio Farma dan upaya pengembangan kapasitas dalam jangka panjang, merupakan respons yang cepat dalam menghadapi krisis kesehatan dan kerentanan yang sistematik. Temuan tersebut juga menekankan pada motivasi Tiongkok dalam memberikan bantuan kemanusiaan, selain menegakkan norma keamanan manusia juga memajukan kedudukannya dalam skala global. Dengan memanfaatkan kerja sama multilateral dan bilateral, Tiongkok menunjukkan komitmennya untuk mengatasi tantangan kesehatan pada level global sekaligus membina hubungan yang lebih baik dengan Indonesia. Hal ini menjadi menarik ketika menggabungkan perspektif keamanan manusia dalam strategi bantuan luar negeri dengan tetap menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mengatasi krisis bersama.</em></p> <p><em><strong>Kata-kata Kunci</strong>: Keamanan Manusia, Bantuan Kemanusiaan, Pandemi COVID-19, Belt and Road Inisiatif (BRI), Hubungan Tiongkok-Indonesia</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategishttps://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/58761The Failure of Syria Government Responsibilities toward Internally Displaced People (IDPs) during 2017-20192024-09-22T09:37:07+07:00Winda KhofifahW.khofifah03@gmail.com Masitoh Nur Rohmamasitoh.rohma@uii.ac.id<p><em>This article explores the issues of civil war and the forced relocation of individuals that have led to human rights abuses against Internally Displaced Pe</em><em>ople (IDPs) in Syria. These occurrences began when the Syrian government initiated an offensive against the anti-government protest movement led by Bashar al-Assad. Under the guise of suppressing the uprising, the Syrian government has targeted civilians and committed various human rights violations. This article seeks to provide an in-depth analysis of the Syrian government’s responsibilities in safeguarding the status and rights of IDPs and in preventing internal displacement within Syria. Utilizing Jamie Draper’s concept of “justice and internal displacement,” this article employs a qualitative research methodology with a case study framework. The results of this article indicate the government’s inability to avert the influx of displaced individuals and its failure to meet its obligations regarding the rights of IDPs in Syria, along with the lack of sufficient protection following their displacement.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>IDPs, Syria Government, Human </em><em>R</em><em>ights, Internal </em><em>Di</em><em>splacement<br /><br /></em></p> <p><em>Artikel ini mengkaji isu perang saudara dan pengungsian paksa yang telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap para pengungsi internal (Internally Displaced Pe</em><em>ople/IDPs) di Suriah. Peristiwa tersebut dipicu pasca-Pemerintah Suriah melancarkan serangan terhadap gerakan protes anti-pemerintahan Bashar al-Assad. Pemerintah Suriah telah menargetkan warga sipil dan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia dengan dalih membatasi gerakan pemberontakan. Artikel ini bertujuan untuk memberikan analisis komprehensif mengenai peran Pemerintah Suriah dalam melindungi status dan hak IDPs; serta pencegahan pemindahan internal di Suriah. Dengan menggunakan konsep “justice and internal displacement” yang dikemukakan oleh Jamie Draper, artikel ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Temuan artikel ini mengungkap adanya kegagalan pemerintah dalam mencegah kedatangan dan pemenuhan tanggung jawab atas hak-hak IDPs di Suriah, serta ketiadaan perlindungan yang memadai setelah terjadinya pemindahan.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci: </em></strong><em>IDPs, Pemerintah Suriah, Hak </em><em>A</em><em>sasi </em><em>M</em><em>anusia, Pemindahan </em><em>I</em><em>nternal</em></p>2025-02-27T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Global Strategis