Global Strategis https://e-journal.unair.ac.id/JGS <p align="justify">Global Strategis is a scientific journal published twice a year. Global Strategis invite discussions, reviews, and analysis of contemporary international issues with specialization in four main themes: international peace and security; international political economy; international businesses and organization; as well as globalization and strategy. Global Strategis published by Cakra Studi Global Strategis (CSGS), center of studies that discussed contemporary issues of international relations. CSGS is managed by Department of International Relations, Universitas Airlangga</p> <p align="justify">Global Strategis has been certificated as a Scientific Journal and <span style="font-size: 10px;">accredited second grade (Sinta 2 or S2) since December 2021 by the <strong>Indonesian Ministry of Education, Culture, Research, and Technology (Kemdikbudristek)</strong>.</span><span style="font-size: 10px;"> Update Accreditation Number: 5162/E4/AK.04/2021, valid until JGS Vol. 19 No. 2, 2025.</span></p> en-US <p>Authors who publish in this journal agree to the following terms:</p> <ol type="a"> <ol type="a"> <li>Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a <a href="https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/">Creative Commons Attribution License</a> that allows others to share the work with an acknowledgment of the work's authorship and initial publication in this journal</li> <li>Authors are unable to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work</li> <li>Authors are not permitted to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work (See <a href="http://opcit.eprints.org/oacitation-biblio.html" target="_new">The Effect of Open Access</a>).</li> <li>The Copyright Holder of the articles is Global Strategis</li> </ol> </ol> baiq.wardhani@fisip.unair.ac.id (Baiq LSW Wardhani) wahyuningmeis@gmail.com (Wahyuning Mei Savira) Sat, 23 Aug 2025 13:30:06 +0700 OJS 3.3.0.10 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 Energy Diplomacy During Crisis: A Case Study of India’s Foreign Policy Adjustment Strategies in Facing the Potential Global Oil Shock in 2019 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/62820 <p><em>This article aims to elaborate on how a state adjusts its energy diplomacy in the event of a potential global energy crisis, using India’s foreign policy adjustment following the drone attack on the global oil supplier as a case study. The 2019 drone attack incident that occurred at Saudi Arabia’s Aramco oil refinery hampered Saudi Arabia’s oil supply in exporting petroleum and caused global oil prices to increase by around five percent. This event raised concerns for India, which depends on Saudi Arabian oil imports. India’s dependence on petroleum continues to grow annually due to its large population and rapid industrial development. This research examines the Indian government’s strategy for securing its oil supply in response to the imbalance in Saudi Arabian oil production. The method used in this research is qualitative, emphasizing comprehensive and descriptive analysis regarding India’s energy security. Additionally, this research was analyzed using policy adjustment strategies, which emphasize a defensive approach, as evident in the Indian government’s cautious response and actions. The results of this research reveal two distinct defensive strategies, both domestic and international. On the one hand, India utilizes its domestic strategic petroleum reserves, and on the other hand, India has decided to strengthen its collaboration with Russia and Venezuela. The analysis is also connected to energy security to identify India’s energy diplomacy strategy during a crisis.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Energy Diplomacy, India, Saudi Arabia, Policy Adjustment, Energy Security, Global Oil Crisis</em></p> <p><em>Artikel ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana suatu negara menyesuaikan diplomasi energinya ketika ada kemungkinan terjadinya krisis energi global, dengan studi kasus penyesuaian kebijakan luar negeri India setelah serangan drone terhadap pemasok minyak global. Insiden serangan drone pada tahun 2019 yang terjadi di kilang minyak Saudi Aramco, Arab Saudi, berpotensi menghambat pasokan minyak Arab Saudi dalam mengekspor minyak bumi dan menyebabkan harga minyak global meningkat sekitar lima persen. Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran bagi India yang bergantung pada impor minyak Arab Saudi. Ketergantungan India terhadap minyak bumi terus meningkat setiap tahunnya karena jumlah penduduk yang signifikan dan peningkatan pembangunan industri. Penelitian ini menganalisis strategi pemerintah India dalam mengamankan pasokan minyaknya sehubungan dengan ketidakseimbangan minyak Arab Saudi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, menekankan analisis komprehensif dan deskriptif mengenai keamanan energi India. Selain itu, penelitian ini dianalisis dengan menggunakan strategi penyesuaian kebijakan yang menekankan pada strategi defensif, terlihat dari respons dan tindakan pemerintah India yang berhati-hati. Hasil penelitian ini menunjukkan dua strategi pertahanan domestik dan internasional. Di satu sisi, India menggunakan cadangan minyak strategis dalam negerinya dan di sisi lain, India memutuskan untuk memperkuat kolaborasinya dengan Rusia dan Venezuela. Analisis ini juga dikaitkan dengan ketahanan energi agar dapat menemukan strategi diplomasi energi India di tengah situasi krisis.</em></p> <p><strong><em>Kata-Kata Kunci</em></strong><em>: Diplomasi Energi, India, Arab Saudi, Penyesuaian Kebijakan, Keamanan Energi, Krisis Minyak Global</em></p> Novita Putri Rudiany, Adinda Reisha Elmaharani Permana, Ian Montratama Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/62820 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 Middle and Emerging Power in Foreign Policy Analysis https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/66210 <p><em>This paper argues that the concepts of ‘middle powers’ and ‘emerging powers’ remain analytically ambiguous and often conflated, owing to overlapping parameters and inconsistent theoretical frameworks. While both terms have been widely employed in the study of International Relations – particularly in foreign policy analysis since the early 2000s – they suffer from conceptual limitations that weaken their analytical utility. The long-standing debate over the appropriate variables for defining a ‘middle power’ has led to the development of multiple, sometimes conflicting, approaches: functional, systemic-structural, psychological, behavioral, positional, and identity. At the same time, the term ‘emerging powers’ has been criticized as vague or even meaningless, as it often adopts criteria from classical middle power theories without sufficient conceptual distinction. Through a literature-based analysis, this paper explores how the definitional debates around 'middle powers' originated, how the term 'emerging powers' emerged and became entangled with it, and how recent scholars – such as that by Fonseca et al. and Paes et al. – has attempted to reconceptualize ‘emerging powers’ using more fluid, context-sensitive, and narrative-driven frameworks. In doing so, the study highlights the need for clearer conceptual boundaries to enhance both academic rigor and policy relevance in analyzing state roles in the evolving international system.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Middle Powers, Emerging Powers, Foreign Policy Analysis, International Politics, International System</em></p> <p><em>Penelitian ini berargumen konsep ‘middle powers’ dan ‘emerging powers’ masih bersifat ambigu secara analitis dan sering kali tumpang tindih. Hal ini disebabkan oleh parameter yang saling beririsan serta penerapan teori yang tidak konsisten. Kedua istilah ini telah digunakan secara luas dalam studi Hubungan Internasional, khususnya dalam analisis kebijakan luar negeri sejak awal milenium baru, untuk mengkaji kemunculan negara-negara yang telah menjadi atau diperkirakan akan menjadi aktor penting dalam sistem internasional. Namun, keduanya menghadapi masalah konseptual yang signifikan. Perdebatan panjang mengenai variabel yang tepat untuk mengkategorikan suatu negara sebagai ‘middle power’ telah melahirkan berbagai pendekatan: fungsional, struktural-sistemik, psikologi, perilaku, posisi, dan identitas. Perdebatan yang muncul dalam upaya mendefinisikan ‘middle powers’ tersebut hingga saat ini belum mencapai konsensus. Di sisi lain, istilah ‘emerging powers’ juga dikritik sebagai istilah yang kurang bermakna secara konseptual, karena sering kali menggunakan parameter dari teori ‘middle power’ klasik secara sembarangan. Melalui metode studi pustaka, penelitian ini mengkaji bagaimana perdebatan seputar definisi ‘middle powers’ berkembang, bagaimana istilah ‘emerging powers’ muncul dan kerap disamakan dengan istilah ‘middle power’, serta bagaimana studi terbaru berusaha mereformulasikan ‘emerging powers’ melalui pendekatan yang lebih dinamis, kontekstual, dan berbasis narasi. Studi ini menekankan pentingnya batasan konseptual yang lebih jelas untuk meningkatkan ketepatan analisis akademik dan relevansi kebijakan dalam memahami peran negara di tengah dinamika sistem internasional yang terus berubah.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong><em>: Middle Power, Emerging Powers, Analisa Kebijakan Luar Negeri, Politik Internasional, Sistem Internasional</em></p> Rochdi Mohan Nazala Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/66210 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 Taiwan's Strategic Narrative: The Frontline Defender of Democracy Against Authoritarianism https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/69459 <p><em>This article discusses how Taiwan strategically crafts a narrative portraying Taiwan as the frontline defender of democratic and freedom values in the confrontation between liberal order and authoritarianism in the current debate of the international system. In facing a direct threat from the authoritarian regime, China, Taiwan has utilized this issue as a card to enhance global visibility, by compelling stories indicating Taiwan is the ‘’beacon of democracy’’ together with the United States and calling for a like-minded partner. This article applies strategic narrative framework on three levels namely issue, identity, and international system. This article argues that by portraying Taiwan as the core actor in safeguarding democracy, Taiwan intends to secure its international sphere through strategically enhancing its appeal by emphasizing Taiwan as the core actor in current geopolitical changing and acting as the norm-guardian to protect the established liberal order, advocate, and convince the global community of the importance of democratic and freedom values in facing authoritarianism. </em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Cross-Strait Relations, International Recognition, Soft Power, United States-Taiwan-China Relations</em></p> <p><em>Artikel ini membahas tentang bagaimana Taiwan secara strategis membentuk sebuah narasi yang menggambarkan Taiwan sebagai pembela demokrasi dan nilai-nilai kebebasan terdepan di tengah konfrontasi antara tatanan liberal dan otoriter, yang mana menjadi perdebatan hangat dalam sistem internasional. Dalam menghadapi tantangan langsung dari rezim otoriter, yakni Tiongkok, Taiwan telah memanfaatkan isu ini sebagai kartu utama untuk meningkatkan visibilitasnya di tingkat global. Taiwan membentuk narasi yang meyakinkan sebagai “mercusuar demokrasi” bersama dengan Amerika Serikat, sekaligus mengajak terbentuknya kemitraan dengan negara-negara yang sehaluan. Artikel ini mengaplikasikan kerangka analisis narasi strategis pada tiga tingkat yakni isu, identitas, dan sistem internasional. Artikel ini berargumentasi bahwa dengan menggambarkan Taiwan sebagai aktor utama dan terdepan dalam menjaga demokrasi, Taiwan berupaya untuk memperkuat posisinya di ranah internasional melalui peningkatan citra positif. Upaya tersebut dilakukan dengan menekankan peran Taiwan sebagai penjaga norma yang melindungi tatanan internasional liberal, serta mengadvokasi dan meyakinkan komunitas global akan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi dalam menghadapi bangkitnya otoritarianisme.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci: </em></strong><em>Hubungan Lintas-Selat, Pengakuan Internasional, Soft Power, Hubungan Amerika Serikat-Taiwan-Tiongkok</em></p> Eva Ermylina Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/69459 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 The Contradiction of Indonesia’s Developmentalism Agenda and Environmental Policies in Jokowi’s Administration https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/69885 <p><em>One of the subjects in the global environmental crisis study is how environmental changes create vulnerability among society, thus raising human security issues. The flood disaster in Kalimantan in January 2021 is a clear example that illustrates the impact of environmental change on human security. Furthermore, Indonesia's case is interesting because, amid the current environmental crisis, Indonesia still has an ambitious developmentalism agenda. However, Indonesia has also demonstrated environmental policies through an active role in environmental protection agreements at the international level, policy formulation at the domestic level, and implemented concrete actions such as corrective action plans. This paper discusses the contradiction between the developmentalism agenda and Indonesia's environmental protection policies in the era of President Jokowi. The author argues that amidst the environmental crisis and threats to human security, Jokowi's developmental agenda shows ambitious goals. However, at the same time, this agenda is not balanced with strong environmental protection measures. Therefore, the existing environmental protection policies and efforts are considered only as government efforts to legitimize the developmentalism agenda.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>environmental crisis, human security, Indonesia, developmentalism, environmentalism</em></p> <p><em>Salah satu bahasan dalam kajian krisis lingkungan global adalah bagaimana perubahan alam dapat berdampak pada kerentanan masyarakat sehingga memunculkan isu keamanan manusia. Bencana banjir di Kalimantan pada Januari 2021 merupakan salah satu contoh nyata yang menggambarkan dampak perubahan alam terhadap keamanan manusia. Lebih jauh lagi, Indonesia merupakan negara yang menarik untuk dibahas karena di tengah krisis lingkungan yang ada, Indonesia masih memiliki agenda developmentalisme yang ambisius. Walaupun demikian, Indonesia juga menunjukkan kebijakan environmentalisme melalui peran aktif dalam kesepakatan perlindungan lingkungan di tingkat internasional, penyusunan kebijakan di tingkat domestik, hingga tindakan konkret seperti corrective action plan. Tulisan ini membahas tentang kontradiksi antara agenda developmentalisme dan kebijakan perlindungan lingkungan Indonesia di era Presiden Jokowi. Penulis berargumen bahwa di tengah krisis lingkungan dan ancaman terhadap keamanan manusia yang ada, agenda developmentalisme Jokowi menunjukkan kesan ambisius. Namun di saat yang bersamaan, agenda tersebut tidak diimbangi dengan upaya perlindungan lingkungan yang tegas. Kebijakan dan upaya perlindungan lingkungan yang ada akhirnya terkesan hanya sebagai upaya pemerintah untuk melegitimasi agenda developmentalisme.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata kunci</em></strong><em>: krisis lingkungan, keamanan manusia, Indonesia, developmentalisme, environmentalisme</em></p> Seftina Kuswardini, Megan Alvira Putri, Yohanes William Santoso Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/69885 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 Transitional Justice in Indonesia: The Persistent Challenge of Addressing the 1965-1966 Mass Killings https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/71886 <p><em>This article explores why Indonesia has struggled to achieve meaningful transitional justice for the 1965-1966 mass killings despite ongoing democratic reforms and advocacy efforts. These events, which led to the deaths of an estimated 500,000 to one million alleged communists, remain unaddressed due to entrenched political and military power, societal resistance, and ineffective judicial mechanisms. Using a qualitative approach, this research examines survivor testimonies, official reports from institutions such as Komnas HAM, and scholarly literature to understand the underlying challenges. The findings suggest that Indonesia's inability to confront these past atrocities stems from a lack of political will, continued military influence, and a deeply ingrained culture of silence reinforced by decades of state propaganda. While international advocacy efforts, including the International People's Tribunal (IPT) and grassroots movements, have shed light on the issue, systemic obstacles impede progress. This study highlights the potential benefits of hybrid courts, an independent truth commission, and comprehensive reparations programs by comparing Indonesia's situation with transitional justice efforts in South Africa and Cambodia. These reforms are crucial for addressing historical injustices, fostering national reconciliation, and promoting long-term accountability.</em></p> <p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> Transitional justice, 1965-1966 killings, Indonesia, Human rights, Impunity</em></p> <p><strong><em> </em></strong></p> <p><em>Artikel ini membahas mengapa Indonesia kesulitan untuk mencapai keadilan transisional yang bermakna untuk pembunuhan massal tahun 1965-1966, meskipun telah melakukan reformasi demokrasi dan upaya advokasi yang berkelanjutan. Peristiwa yang mengakibatkan kematian sekitar 500.000 hingga satu juta orang yang dituduh komunis ini, masih belum terselesaikan karena kuatnya kekuasaan politik dan militer, resistensi masyarakat, dan mekanisme peradilan yang tidak efektif. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menganalisis kesaksian korban, laporan para penyintas, laporan resmi dari institusi Komnas HAM, dan literatur akademis untuk memahami tantangan mendasar yang ada. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ketidakmampuan Indonesia dalam menghadapi kekejaman masa lalu ini disebabkan oleh kurangnya kemauan politik, pengaruh militer yang masih kuat, serta budaya “diam” yang mengakar akibat propaganda negara selama puluhan tahun. Meskipun upaya advokasi internasional, seperti International People's Tribunal (IPT), dan gerakan akar rumput telah menyoroti masalah ini, hambatan sistemis menghalangi kemajuan. Studi ini menekankan potensi manfaat dari pengadilan hibrida, komisi kebenaran yang independen, dan program reparasi komprehensif dengan membandingkan situasi Indonesia dengan upaya keadilan transisional di Afrika Selatan dan Kamboja. Reformasi ini penting untuk mengatasi ketidakadilan sejarah, memupuk rekonsiliasi nasional, dan mendorong akuntabilitas jangka panjang. </em></p> <p><strong><em>Kata-Kata Kunci:</em></strong><em> Keadilan</em><em> transisional, Pembunuhan 1965-1966, Indonesia, Hak asasi manusia, Impunitas</em></p> Dyamwale Amir Mkumbi, Ani Widyani Soetjipto Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/71886 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 ‘Great Power Style’ in China’s Economic Diplomacy: A Case Study of China-Portugal Economic Relations https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/72720 <p><em>This article examines how China’s economic diplomacy with Portugal demonstrates its global power strategy as a benign hegemon under the Great Power Style paradigm. The paper traces China’s investment trends in Portugal’s key sectors within the Belt and Road Initiative (BRI) framework including energy, ports, finance, and technology using descriptive qualitative methods and literature analysis. The results show that China is not only seeking economic benefits but also creating organized and non-coercive geopolitical influence. This approach is done by providing global public goods and maintaining stable bilateral relations, thereby enhancing China’s position as a responsible great power. Portugal’s strategic location in the Atlantic and its ties to Africa help make it a key node in the 21<sup>st</sup> Century Maritime Silk Road. The report finds that China’s economic diplomacy is a key component of a distinct global leadership paradigm that prioritises stability, collaboration, and economic attractiveness over military power.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: China, Economic diplomacy, Great Power Style, Investment, Portugal</em></p> <p><em>Artikel ini mengkaji bagaimana diplomasi ekonomi Tiongkok dengan Portugal menunjukkan strategi kekuatan globalnya sebagai hegemon jinak di bawah paradigma Great Power Style. Makalah ini melacak tren investasi Tiongkok di sektor-sektor penting Portugal dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) termasuk energi, pelabuhan, keuangan, dan teknologi menggunakan metode kualitatif deskriptif dan analisis literatur. Hasilnya menunjukkan bahwa Tiongkok tidak hanya mencari keuntungan ekonomi tetapi juga menciptakan pengaruh geopolitik yang terorganisasi dan tidak memaksa. Pendekatan ini dilakukan dengan menyediakan barang-barang publik global dan menjaga hubungan bilateral yang stabil, sehingga meningkatkan posisi Tiongkok sebagai kekuatan besar yang bertanggung jawab. Lokasi strategis Portugal di Atlantik dan hubungannya dengan Afrika membantu menjadikannya simpul utama dalam Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Laporan tersebut menemukan bahwa diplomasi ekonomi Tiongkok adalah komponen utama dari paradigma kepemimpinan global yang berbeda yang memberikan stabilitas, kolaborasi, dan daya tarik ekonomi prioritas utama di atas kekuatan militer.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata Kunci</em></strong><em>: Cina, Diplomasi ekonomi, Great Power Style, Investasi, Portugal</em></p> Rizal Budi Santoso, Rizqi Muttaqin; Dwi Fauziansyah Moenardy Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/72720 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 Understanding China's Defensive-Moderate Approach to International Relations https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/73935 <p><em>This article reinterprets Chinese foreign policy through the lens of strategic culture by advancing the concept of a defensive-moderate approach, defined as a deliberate blend of assertive defense and restrained diplomacy. While conventional analyses often rely on frameworks such as defensive realism or economic interdependence, this article emphasizes the formative role of Confucian values, including harmony, hierarchical order, and moral governance, in shaping China’s external behavior. Drawing on original research from a doctoral dissertation examining China’s interactions with the United States and India, this article explains how these values are internalized by elites, institutionalized in policy discourse, and manifested in practices such as preference for multilateralism, non-intervention, and calibrated responses to conflict. Through empirical illustrations from the Belt and Road Initiative, the Shanghai Cooperation Organization, and border management strategies, this article argues that China’s foreign policy is not merely reactive or materially driven but reflects a culturally informed strategic posture. This perspective challenges rationalist models of state behavior and offers a more nuanced understanding of China’s role in global affairs by highlighting the importance of socially constructed norms in foreign policy decision-making. <strong>Keywords:</strong> Strategic Culture, China, Confucianism, Foreign Policy, Defensive-Moderate </em></p> <p><em>Artikel ini menafsirkan ulang kebijakan luar negeri Tiongkok melalui lensa budaya strategis dengan mengajukan konsep pendekatan defensif-moderat, yang didefinisikan sebagai perpaduan yang cermat antara pertahanan asertif dan diplomasi tertahan. Sementara analisis konvensional sering mengandalkan kerangka seperti realisme defensif atau ketergantungan ekonomi, artikel ini menekankan peran nilai-nilai Konfusianisme seperti harmoni, tatanan hierarkis, dan pemerintahan bermoral dalam membentuk perilaku eksternal Tiongkok. Berdasarkan riset orisinal dari disertasi doktoral yang mengkaji hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat dan India, artikel ini menjelaskan bagaimana nilai-nilai tersebut diinternalisasi oleh para elite, dilembagakan dalam wacana kebijakan, dan diwujudkan dalam praktik seperti preferensi terhadap multilateralisme, non-intervensi, serta respons yang terukur terhadap konflik. Melalui contoh empiris dari Belt and Road Initiative, Organisasi Kerja Sama Shanghai, dan strategi pengelolaan perbatasan, artikel ini berargumen bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok tidak sematamata bersifat reaktif atau didorong oleh kepentingan material, melainkan mencerminkan postur strategis yang didasarkan pada budaya. Perspektif ini menantang model-model rasionalis tentang perilaku negara dan menawarkan pemahaman yang lebih bernuansa mengenai peran Tiongkok dalam politik global dengan menyoroti pentingnya norma-norma sosial yang dikonstruksi dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. K</em></p> <p><em><strong>Kata-kata Kunci:</strong> Strategic Culture, Tiongkok, Konfusianisme, Kebijakan Luar Negeri, Defensif-Moderat</em></p> Probo Darono Yakti, Siti Rokhmawati Susanto Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/73935 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700 Climate Adaptation Through Defense Diplomacy in the Indo-Pacific Region https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/74236 <p><em>This study investigates the contribution of defense diplomacy to climate change adaptation efforts in the Indo-Pacific region, focusing specifically on two prominent regional mechanisms: the ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM)—including ADMM Plus— and the Quadrilateral Security Dialogue (Quad). Employing Cottey and Forster’s conceptual framework of defense diplomacy—which emphasizes cooperative military engagement for building confidence and addressing shared security concerns—this paper analyzes how both platforms have formally integrated climate change into their agendas. While the climate-security nexus has often been underemphasized in traditional defense cooperation, this research finds that activities such as Humanitarian Assistance and Disaster Relief (HADR), military medicine, and information sharing serve as key operational components that indirectly strengthen regional climate resilience. Both ADMM and the Quad have acknowledged the significance of climate adaptation; yet, the Quad demonstrates a more coordinated approach with clearer strategies and programs. By highlighting these dynamics, this study underlines the growing importance of defense diplomacy as a mechanism for addressing non-traditional security threats in the Indo-Pacific.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Climate Change Adaptation, Defense Diplomacy, Indo-Pacific</em></p> <p><em>Penelitian ini mengkaji kontribusi diplomasi pertahanan terhadap upaya adaptasi perubahan iklim di kawasan Indo-Pasifik, dengan fokus khusus pada dua kerja sama pertahanan yaitu ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM)—termasuk ADMM Plus—dan Quadrilateral Security Dialogue (Quad). Dengan menggunakan kerangka konseptual diplomasi pertahanan dari Cottey dan Forster—yang menekankan kerja sama militer untuk membangun kepercayaan antar negara dan menangani isu-isu keamanan bersama—kajian ini menganalisis bagaimana kedua platform tersebut secara formal telah mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam agenda kerja samanya. Meskipun hubungan antara isu iklim dan keamanan sering kali kurang mendapatkan perhatian dalam kerja sama pertahanan tradisional, penelitian ini mengemukakan argumen bahwa aktivitas seperti bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana, military medicine, dan pertukaran informasi secara tidak langsung memperkuat ketahanan iklim di kawasan. Baik ADMM maupun Quad telah mengakui pentingnya adaptasi perubahan iklim; namun, Quad menunjukkan pendekatan yang lebih terkoordinasi dengan strategi serta program yang lebih jelas. Dengan menyoroti dinamika ini, studi ini menegaskan pentingnya diplomasi pertahanan sebagai mekanisme untuk menangani ancaman keamanan non-tradisional di Indo-Pasifik</em><em>.</em></p> <p><strong><em>Kata-kata kunci: </em></strong><em>Adaptasi Perubahan Iklim, Diplomasi Pertahanan, Indo-Pasifik</em></p> Ayu Heryati Naqsabandiyah Copyright (c) 2025 Global Strategis https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/74236 Sat, 23 Aug 2025 00:00:00 +0700