Implikasi Putusan Mk Nomor 68/Puu-XV/2017 Terhadap Jaksa Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Downloads
Dalam penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum untuk lebih melindungi dan mengayomi anak diberlakukan pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan kebijakan diversif sebagai bentuk keadilan restoratif. Aturan ini selaras dengan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Konvensi tahun 1989 ini telah diratifikasi oleh lebih 191 negara, termasuk Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, seterusnya lahir peraturan perundangan lain yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest of the Child). Aturan itu antara lain dengan pendekatan diversif sebagai bentuk keadilan restoratif. Di sisi lain ada ancaman terhadap penegak hukum berupa sanksi pidana apabila tidak melakukan diversi terhadap perkara yang wajib diversi sebagaimana diatur Pasal 99, pasal 100 dan Pasal 101 UU SPPA. Namun pasal tersebut telah dibatalkan MK pada Maret 2013 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagai bentuk perlindungan terhadap penegak hukum yang bekerja melaksanakan tugasnya. Ini bukan berarti tidak melaksanakan prinsip diversi karena penjatuhan hukuman adalah termasuk dalam bagian pembinaan anak itu sendiri. Jurnal ini menguji Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 68/PUU-XV/2017 terhadap penuntut umum
Buku
Bimo Wologito, Kenakalan Remaja, Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 2004.
Gosita, Arief, Masalah Korban Kejahatan, (Akademi Pressindo, Jakarta) 1993.
Hasan, Maulana, Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2000
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Penrbit Bumi Aksara, Jakarta, 2000.
Wagiati, Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Artikel, Jurnal Hukum, Internet :
Santi Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum (dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson). http:// ajrc - aceh.org / wp-content / uploads / 2009 / 05 / diversion guidelines_adopted-from-chris-report.pdf. Diakses hari Ahad, 4 November 2018, pukul 09.30 WIB.
Kejaksaan tidak disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun pengertian Kejaksaan dan Jaksa Agung sudah termasuk dalam ruang lingkup ”kekuasaan kehakiman.” Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman;” bukan lain-lain badan pengadilan.
Copyright (c) 2019 Media Iuris
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.