Pertanggungjawaban Negara Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Di Aceh Melalui Mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Authors

November 2, 2020

Downloads

Upaya untuk mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat telah lama dilakukan dengan adanya mekanisme non-yudisial yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Ini membuka jalan bagi pengungkapan kebenaran. Proses ini sangat penting dilakukan untuk meminimalisir konflik warisan yang dapat menjadi penghalang bagi masa depan bangsa. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi, menjunjung tinggi dan memajukan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Belajar dari penelitian ini, negara memiliki undang-undang terkait untuk kebenaran dan rekonsiliasi, terutama dalam menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu. Namun, undang-undang yang awalnya menjadi dasar hukum untuk mengungkapkan kebenaran telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Karenanya, tidak ada lagi dasar hukum untuk kebenaran dan rekonsiliasi di Indonesia. Namun, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh telah dibentuk berdasarkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). MoU ini telah diadaptasi menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013. Artikel ini berfokus pada dua pertanyaan, apa posisi hukum dan wewenang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dalam sistem hukum Indonesia dalam menjamin dan melindungi hak-hak para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam kasus-kasus di Aceh, dan apakah mekanisme perlindungan dan pertanggungjawaban Negara dalam memberikan langkah-langkah hukum dapat memenuhi hak-hak para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Aceh.